Terkini.id, Konawe - Kabupaten Konawe dalam beberapa dekade menjadi trending topic di karenakan mencuatnya di media nasional terkait dugaan desa fikip yang jumlahnya cukup fantastik yaitu 56 desa yang di duga fiktip, Rabu 15 Juli 2020.
hampir semua media tak luput untuk memberitakan dugaan kasus desa fiktip tersebut salah satu media yang paling menonjol memberitakan dugaan kasus tersebut adalah Media Tv Nasional.
media tersebut sampai turun di lapangan melakukan penelusuran terhadap beberapa desa yang di duga mala administrasi tetapi mendapatkan kucuran anggaran dari APBN.
salah satu penelusuran media adalah desa Lerehoma dan reporter tersebut cukup detail mengungkap dan mempertanyakan persoalan yang di indikasi desa fiktip tersebut.
reporter pada saat melakukan wawancara terhadap kepala desa dalam wawancara tersebut maka ada beberapa indikasi mala adminisrasi yg di duga di lakukan oleh oknum pemerintah yang khususnya membidangi pemekaran desa-desa tersebut.
Dalam kasus dugaan desa fiktip tersebut yang berjumlah 56 desa yang ada di kabupaten konawe sebenarnya sudah sering kali di sorot oleh beberapa lembaga yang ada di Kabupaten Konawe terkhusus para lembaga pemerhati korupsi yaitu FP3S.
akan tetapi tak menuai hasil dari oknum penegak hukum yang menangani kasus tersebut, pokok permasalahan.
di dalam pendefinitipan 56 desa adalah dengan rujukan perda nomor 79 tahun 2017, perda tersebut di buat untuk mendefinitipkan desa-desa tersebut yang di mana desa-desa tersebut banyak mengalami ketidakwajaran mulai dari syarat adminisrasi yang tidak memenuhi sampai jumlah penduduk yang tidak syarat sementara dalam undang–undang desa nomor 6 tahun 2014 sudah terang benderang menjelaskan tentang aturan main dalam mendefinitipkan desa-desa di seluruh Indonesia.
Rujukan dalam pemekaran desa cukup jelas yaitu undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa, namun kenyataan yang terjadi di Kabupaten Konawe tersebut justru tidak mengindahkan undang-undang tersebut.
malah Perda yang di buat oleh produk DPRD Kabupaten Konawe tidak teregistrasi di Kabag Hukum Konawe, mengapa demikian berdasarkan hasil infestigasi kami Perda tersebut sengaja direkayasa.
untuk memuluskan pendepenitipan desa agar mendapatkan kucuran dana desa dari pusat, dari Perda yang di buat oknum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Konawe berhasil mendapatkan kucukaran dana yang cukup fantastik.
Desa 56 yang masuk dalam Perda, menurut oknum DPRD, mereka anggap sudah benar atau legal dan pantas mendapatkan kucuran dana dari APBN, setelah dana tersebut di kucurkan dari pusat justru banyak yang tidak di salurkan, justru di endapkan oleh oknum pemerintah yang tidak bertanggung jawab.
setelah kasus desa fiktip mencuat ternyata desa-desa teresebut baru mengetahui bahwa desa yang mereka pimpin sudah definitip dan sudah mendapatkan kucuran dana dari pusat pada kenyataanya Kepala Desa tidak pernah menerima dana APBN selama mereka menjabat sebagai kepala pemerintah.
salah satu statement Kepala Desa yang di wawancarai oleh salah satu media TV nasional Pada Saat Melakukan Peliputan di kabupaten konawe terkait dugaan 56 desa fiktip.
Sejak 2015 Desa yang diduga fiktip berdasarkan Perda 79 yang diduga bodong atau Perda fiktip telah mendapatkan kucuran dana yang cukup fantastik tetapi kenyataanya dana tersebut raib ditangan oknum penguasa yang punya kewenangan terkait pengelolaan dana keuangan daerah di Kabupaten Konawe.
hal ini menjadi tanda tanya besar terhadap para pemerhati anti korupsi yang ada di Kabupaten Konawe untuk bergerak mendorong kasus tersebut kepada para penegak hukum yang di berikan amanah konstitusi untuk melakukan penindakan kasus-kasus korupsi.
upaya para pengiat anti korupsi yang ada di konawe yaitu mendesak terus pihak penegak hukum untuk segera membuka siapa dibalik aktor intelek tual yang dengan sengaja merekayasa Perda bodong yang melahirkan desa fiktip dan menelan anggaran yang cukup fantastic.
sejak 2015 desa yang diduga fiktip telah mendapatkan kucuran dana APBN, sederhana kita perpikir bahwa jika sudah mendapatkan kucuran dana lantas dana tersebut siapa yang mengambilnya.
sementara Kepala Desa sudah mengatakan bahwa mereka tidak pernah menerima dana tersebut, Hari anti korupsi yang jatuh tepat 9 desember 2019 di mana kami turun memperingati hari anti korupsi dengan tema Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Harus Di Hapuskan Di Muka Bumi,
di karenakan korupsi merusak sendi-sendi peradaban bangsa, dalam kegiatan tersebut yang kami angkat adalah tuntaskas segera persoalan 56 desa piktif yang ada di bumi konawe mengapa demikian karena kasus tersebut sangat mencoreng nama baik Kabupaten Konawe di kanca Nasional.
dimana Konawe yang di kenal dengan take line kabupaten yang menjunjung tinggi adat istiadat Innae Konasara Iye Pinesara Innae Lia Sara Iye Pinekasara arti dalam bahasa adat tersebut mengisaratkan bahwa pemimpin dan rakyatnya taat terhadap aturan.
tetapi kenyataan yang di lakukan oleh oknum penguasa dengan dugaan sengaja merekayasa untuk membuat desa fiktip hanya untuk sengaja mendapatkan keuntungan segelintiran oknum kelompok yang ada di lingkup pemerintahan Kabupaten Konawe.
Sorotan dari massa aksi yang kami pimpin pada saat melakukan unjuk rasa di hari Anti Korupsi tepat 9 desember 2019 yaitu dari 56 desa yang diduga fiktip dan Perda bodong sangat tidak logis.
ketika para oknum penegak hukum yang ada di Wilayah Sulawesi Tenggara berfikir bahwa kasus ini sulit untuk di temukan siapa aktor intelektual yang membuat desa fiktip.
mengapa demikian dalam pandangan kami sangat sederhana untuk menemukan aktor intelektual, mengapa demikian dalam pandangan sederhana, Perda bodong itu cukup di lihat siapa yang menandatangani Perda yang di duga bodong.
artinya tidak mungkin perda itu tidak ada yang membubuhkan tanda tangan, dikarenakan keabsahan sebuah administrasi jika ada yang menandatangani draft perda yang di duga bodong, dari draft Perda bodong bisa menjadi alat bukti permulaan.
gerakan massa hari Anti Korupsi di 9 desember 2019 mendesak Polda Sultra agar segera menetapkan tersangka aktor intelektual pembuat desa fiktip dasarnya mengapa selain alat bukti permulaan yang bisa digunakan Perda Nomor 79 Tahun 2017 masih ada lagi Perda Nomor 7 tahun 2011 Bab II pembentukan dan pendepenitifan.
sedangkan Pasal 2 yang menyebutkan nama-nama desa yang berjumlah 98 desa, sedangkan yang terindikasi 56 desa yang di duga fiktip dari hasil infestigasi.
Indikasi desa fiktip yang di sorot kami pada saat itu di hari Anti Korupsi 9 desember 2019 bahwa Polda Sultra lambat dalam menangani indikasi kasus desa fiktip yang ada di Kabupan Konawe di karenakan kasus ini bergulir hampir 2 tahun lamanya.
pertanyaan kami pada saat itu apakah pihak penegak hukum serius dalam menangani kasus tersebut, kasus desa fiktip ini sangat di sayangkan jika berlalu begitu saja mengapa demikian jika di kalkulasi dari 56 terindikasi diduga desa fiktip sejak 2015 uang APBN di kucurkan maka jumlahnya cukup fantastik dan merugikan keuangan Negara.
pandanagan kami hukum harus di tegakan selurus-lurusnya dan seadil-adilnya tidak boleh pandang bulu dalam sistem penegakan hukum, hukum harus di jadikan sebagai panglima tertinggi karena Negara tidak boleh kalah dengan para koruptor.
jika Negara kalah pada koruptor maka kehancuran sebuah Negara sudah di depan mata. Peryataan Menteri Keuangan Sri Muliani cukup menggegerkan warga Indonesia, Provinsi Sulawesi Tenggara khususnya warga Kabupaten Konawe pada umumnya bahwa di Kabupaten Konawe.
terdapat 56 desa terindikasi fiktip dan mendapatkan kucuran dana desa yang nominalnya sangat besar, atas dasar peryataan sekelas Menteri Sri Muliani membuat media Tv Nasional bergegas untuk meliput di desa-desa yang terindikasi fiktip yang berada di Provinsi Sulawei Tenggara Kabupaten Konawe.
mengapa tidak sekelas menteri tidak mungkin asal bicara di Media Nasional tanpa data dan fakta yang akurat, artinya bahwa kasus ini cukup mengagetkan publik khususnya para pegiat anti korupsi yang ada di wilayah Sulawei Tenggara.
Desa fiktip mencuat di permukaan maka media Tv Nasional-pun turut serta mengambil peran dalam memberikan informasi terhadap masyarakat, salah satu media Tv Nasional yang mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai orang nomor satu konawe dalam sesi wawancara tersebut.
masyarakat menjadi bertanya-tanya ini desa fiktip memang adanya atau hanya cerita fiksi saja, artinya sekelas Kepala Daerah sebagai pengambil kebijakan tidak mungkin jika tidak mengetahui ada persoalan tentang desa-desa tersebut.
mengapa demikian dalam Perda Nomor 7 Tahun 2017 cukup jelas bahwa orang nomor satu Konawe yang menandatangani Perda tersebut itu jelas dalam kopian yang kami dapatkan sangat berdasar artinya bahwa orang nomor satu konawe pasti tidak asal menanda tanggani berkas-berkas yang di anggap sangat penting.
apa lagi menyangkut Perda untuk mendefinitipkan desa-desa persiapan menjadi desa definitip.
persoalan yang kami anggap cukup substansial desa fiktip ini adalah 3 desa yaitu Desa Morehe, Desa Napooha dan desa Wiau di mana 3 desa tersebut sangat memprihatinkan, warganya tidak jelas penduduknya, fasilitas kantor tidak jelas anehnya oknum pemerintah masih menganggap bahwa desa itu layak untuk definitip dan mendapatkan kucuran anggaran dari APBN.
Dengan demikian maka kami menduga desa fiktip ini sebuah kesengajaan yang di lakukan oleh oknum pemerintah yang ada di Kabupaten Konawe, analisa sederhana kami jika itu memang bermasalah maka solusinya pemerintah Kabupaten Konawe segera melaporkan kepada pemerintah pusat.
bahwa desa tersebut sudah tidak memenuhi syarat dana desa tersebut segera di hentikan dari segi pendanaan, asumsi kami pada saat hari Anti Korupsi 9 desember 2019 desa Morehe, desa Napooha, desa Wiau sengaja di lakukan pembiaran agar terus mendapatkan kucuran dana desa dari pusat.
artinya dari segi tanggung jawab oknum pemerintah sengaja melakukan pembiaran dan gagal menunjukan fakta integritasnya kepada lembaga anti rasua KPK RI dalam penandatanganan fakta integritas setiap daerah harus bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) terbukti dengan adanya yang di duga desa fiktif.
Peryataan Wakil Bupati Konawe pada saat di wawancarai oleh Tv One mengatakan bahwa 3 desa tersebut dananya tidak di salurkan tetapi masuk dalam kategori Silva, pertanyaan sederhana, apa mungkin dana APBN bisa menjadi Silva daerah, dalam pandangan kami yang bisa menjadi dana Silva hanya APBD.
artinya bahwa indikasi kasus dugaan adanya desa fiktip ini semakin jelas adanya, sebagai pemerhati anti korupsi maka kami berharap agar kasus desa fiktip yang berjumlah 56 desa kemudian di kerucutkan menjadi 53 desa yang di duga maladminisrasi yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara Kabupaten Konawe.
desa tersebut segera mendapatkan kepastian hukum karena publik menunggu kejelasan kasus tersebut dari penegak hukum artinya jika itu tidak memenuhi alat bukti maka lembaga kepolisian Polda Sultra segera mengeluarkn SP3 terhadap kasus tersebut.
jika itu memungkin ada actor intelektual atau ada 2 alat bukti dalam kasus dugaan pembuatan desa fiktip maka segera menetapkan tersangka, mengapa demikian dikarenakan kasus ini sudah cukup berlarut- larut tetapi tidak ada kepastian hukum.
dalam kasus tersebut, tidak lama lagi hari Anti Korupsi akan tiba tepat jatuh 9 desember 2020 maka itu akan menjadi pertanyaan besar dari kami apakah penegak hukum serius dalam menangani kasus desa fiktip yang ada di Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara atau tidak.
Penulis : Sukri
Aktivis HMI Cabang Konawe